CERPEN REFLEKTIF TENTANG PESANTREN

Kacamata Tua

]“Sani…mari sini!”

“Biasanya ia lewat jam segini

“Kalau udah, kasih kode ya.!”

Tak lama kemudian, Ki Dullah pun lewat. Seperti biasanya, ia memakai baju koko tua yang warna putihnya sudah ke kuning-kuningan. Peci hitam yang ia pakai sudah kemerah-merahan. Usianya yang sudah hampir tujuh puluh tujuh tahun memaksa ia untuk memakai tongkat yang sebenarnya tidak mau ia pakai. “Aku sebenarnya tidak mau bongkok, tapi karena dulu belum ada makanan berkalsium seperti sekarang, Aki terpaksa menjadi kakek bongkok”, tuturnya.

Bug…gedebug…sraaak…Ki Dullah pun jatuh, ia menyandung tali yang di pegang kedua ujungnya oleh Sani dan Robi, dua anak nakal yang tinggal di komplek Taman Wangi, rumah di mana Ki Dullah tinggal. Rumah reyotnya masih berdiri di pinggiran sekian rumah mewah yang dibangun di sekitar komplek. Ki Dullah bisa disebut beruntung, sebab rumahnya tidak ikut kegusur proyek pembangunan Real Estate Taman Wangi. Rumahnya tepat di luar batas pembebasan tanah yang diperlukan proyek waktu itu. Tapi tetap saja menggelikan, rumah gubuk itu menyandar di sisi tenggeran rumah mewah.

“Yaa Allah….sakit…., siapa lagi yang ngerjain kakek tua ini?”

Robi dan Sani tak kuat menahan tawa. Mereka berlari meninggalkan orang tua itu sambil meledek, “Keena lagiii…keena lagii…keena lagii…kaciaaan de lu……”.

Sampai proyek itu di bangun, Ki Dullah tetap menjadi ahli mesjid di komplek tersebut. Setiap pukul tiga shubuh, ia pergi ke mesjid, melakukan sholat tahiyyatul mesjid, sholat tahajud dan membaca Al-Quran sampai waktu shubuh. Ketika membaca Al-Quran, suaranya tidak ia keluarkan lewat pengeras suara karena sempat diprotes keras oleh warga, katanya mengganggu jam tidur.

Allahu akbar Allahu Akbar, waktu shubuh pun tiba. Dan di antara seratus kepala keluarga yang menghuni komplek itu, hanya Ki Dullah dan Pa Anwar –satu-satunya sahabat muda di komplek itu, yang sholat shubuh di mesjid. Biasanya setelah sholat shubuh, Pa Anwar dan Ki Dullah berbincang-bincang tentang agama dan masyarakatnya sampai jam tujuh pagi.

Dulu di tempat ini, mesjid selalu dipenuhi warga, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua. Sayangnya, waktu itu warga tidak sempat mengumpulkan uang secara swadaya untuk membangun madrasah. Jadi pendidikan agama hanya berlangsung di dalam mesjid secara terbatas. Pengajar-pengajarnya pun sekarang sudah pindah tempat akibat proyek pembangunan komplek.

Setiap malam, Ki Dullah selalu menangisi akibat proyek ini. “Tidak apa-apa jika kalian hancurkan bangunan renta ini, tidak mengapa jika kalian luluh lantahkan tanah kering ini, tidak menjadi persoalan jika kalian tebas leher-leher kayu ini. Tapi mengapa kalian hancurkan juga kacamata tua kami?”.

“Seandainya Ki Dullah tidak ada, tentu saja mesjid hanya tinggal bangunannya, mimbar bersuara kecongkakan, pengeras suara berlidah bisa, dan terasnya menjadi pintu masuknya beribu godaan”, kenang Pa Anwar. Tapi Ki Dullah menepis anggapan itu, “Justru karena tinggal saya yang berada di sini, mesjid ini seperti yang kamu bayangkan”, tepisnya.

“Coba kalau yang memakmurkan mesjid ini adalah tenaga-tenaga muda, yang penuh dengan kreativitas melangit, kesahajaan yang membumi, dengan penuh kerendahan hati, tentu dari mesjid inilah tumbuh kacamata tua yang masih menawan hati, tak lapuk ditelan zaman, tidak menghilang di tengah alang merintang”.

“Jadi maksud Ki Dullah, bagaimana caranya agar orang muda yang tinggal di komplek ini tidak malu memakai kacamata tua ini? Begitu maksud Aki?”.

“Tepat sekali!”

“Tapi bagaimana mereka mau memakai kacamata ini, sedangkan mereka sudah asyik bermain dan menggunakan kacamata baru yang diciptakan Amerika?”

“Kamu ingat war….kalau barang antik sudah tidak bermanfaat lagi, mereka akan meringkuk di musieum, memang harganya mahal, mahal sekedar kebanggaan, tidak bermanfaat bagi kehidupan sejati war…..!”.

“Jangan tunggu sampai kacama tua ini senasib barang antik lain, jangan pernah!”.

“Kalau begitu, kita akan mulai dari mana?”

“Kita mulai dari rumah yang paling dekat dengan mesjid ini. Kalau kamu mau, kita akan coba masuk ke setiap rumah mengajak anak-anaknya mengaji di mesjid ini, dan tanpa membayar uang sedikitpun, gimana kamu setuju War?”

“Baik, kalau begitu. Aku pulang dulu ke rumah dan minta menantuku membuat formulir pendaftaran dan memperbanyaknya, nanti ba’da maghrib kita bergerak”.

***

Assalamu’alaikum”.

“Eh…ada apa ya pa, kalau tidak salah Bapak-bapak ini yang sering berada di mesjid itu ya pak?”

“Betul, betul sekali”.

Ki Dullah dan Pa Anwar tidak dipersilakan masuk ke dalam rumah. Sekilas Ki Dullah melihat anaknya Bapak Syamsu ini sedang asyik nonto TV. Mereka hanya diperbolehkan duduk di kursi teras.

“Silakan duduk pak”,

“Terima Kasih”

“Bagini Pak, kedatangan kami ini bermaksud mengajak anak bapak untuk mengaji di mesjid. Insya Allah, pengajiannya hanya seputar Quran dan belajar bahasa arab. Waktunya setelah sholat maghrib”.

“E…..e….kalau maskud bapak-bapak ingin punya penghasilan tambahan, minta saja, jangan sungkan-sungkan, kalau perlu pakai proposalnya ya pak!”.

“Oh..bukan itu maksud kami, lagi pula belajarnya gratis. Tinggal bapak mengijinkan anaknya kami didik mengaji, itu saja kok pak, Insya Allah kami tidak menuntut bayaran”.

“Bapak-bapak ini gimana, anak saya ini dididik di sekolah umum ternama. Dan saya harus mengeluarkan uang sebesar jutaan rupiah setiap bulan tanpa jaminan bahwa anak saya bisa sukses di kemudian hari. Maaf Ki! Ini kok pendidikan apa?! Tanpa ada biayanya segala. Pake duit aja belum dijamin, apalagi tidak pakai duit!”.

“Ya sudah pak jangan marah, kalau bapak tidak mengizinkan anaknya kami didik, tidak apa-apa. Terima kasih atas waktunya Pak, Assalamu’alaikum”.

Dengan semangat yang masih menggebu, mereka optimis, warga lain akan menerima niat baik mereka. Sesampainya di depan rumah Pak Chris, Pak Anwar memberi saran.

“Ki Dullah bagaimana kalau sekarang kita tentukan infaq untuk mesjid sebesar dua ribu rupiah saja perbulan”

“Baik, kalau begitu Aki setuju”.

Dengan mengucap basmallah, mereka memberikan salam untuk kedua kalinya, “Assalamu’alaikum”

Wa’alaikum salam”, suara sayup itu tertiup angin.

“Ki, kelihatannya ini keluarga yang mengerti agama. Buktinya mereka menjawab salam kita Ki”.

“Mudah-mudahan saja”, sahut Ki Dullah.

“Bapak-bapak ini ada perlu apa, sebelumnya saya minta maaf, sebaiknya bapak-bapak jangan bertele-tele sebab sekarang bagi kami sudah waktunya tidur pak”.

“Baiklah, saya dan Ki Dullah berencana mengadakan pengajian anak-anak pak, maksud kami adalah mengundang anak bapak untuk mengaji bersama anak-anak lain yang tinggal di komplek ini mulai besok setelah sholat maghrib di mesjid, infaqnya…..”

Sebelum Pa Anwar membereskan tawaranya, Pak Chris memotong,

“Ee.. begini ya pa, saya sangat menyambut baik I’tikad bapak-bapak ini, sudah tua tapi masih memiliki semangat yang sangat tinggi. Tapi maaf ya pak, sekali lagi maaf, kami beragama Nasrani jadi tidak bisa mengikuti acara yang bapak-bapak adakan. Kami ucapkan terima kasih, dan sesekali kalau bapak-bapak ini butuh sesuatu, Insya Allah kami akan membantu”.

“Oh begitu ya pak. Tidak apa-apa pak, diterima dengan baik juga kami sudah ucapkan terima kasih, ee…kalau begitu kami pamit dulu pak!”.

“Ya silakan….!”.

Setelah beberapa meter dari rumah tersebut, Ki Dullah dan Pak Anwar berebut komentar.

“Aneh”

“Memang aneh”

“Kristen sekarang mengucap salam, kok tadi yang muslimnya tidak”.

“Kalau tidak salah, ia juga mengucap Insya Allah”.

“Di rumah berikutnya, sebelum kita tawarin, sebaiknya kita tanya dulu agama keluarga mereka War!”

“Baik Ki…!”

***

“Assalamu’alaikum”.

Wa’alaikum salam, malam-malam begini ada apa ya Pak?”

“E…e…sebelumnya saya ingin bertanya, apa anda beragama Islam”.

“Tentu saja, nama saya Khoeruddin, nama Islam kok. Memangnya ada apa?”

Alhamdulillah, maksud kami adalah untuk mengajak anak bapak mengaji di mesjid, mulai besok setelah sholat maghrib, infaq ke mesjid sebesar dua ribu rupiah, dan ini formulirnya pak”.

“Maaf ya pak, bukannya saya tidak menghargai usaha dan niat baik bapak-bapak ini. Sebelumya saya ingin memberi masukan. Saya ini seorang praktisi pendidikan. Meski spesifikasi saya bukan dalam hal agama, tapi secara teknis saya memandang bahwa pendidikan agama dan umum itu sama. Jadi sebelum bapak-bapak ini menawarkan pendidikan agama, sebaiknya dirancang dulu apa yang mau diajarkan, kurikulumnya berbasis kompetensi apa, lembar kegiatan siswanya mana, tenaga pegajarnya berapa orang, latar belakang tenaga pengajarnya dari mana, mereka layak atau tidak untuk mengajar, dan seterusnya.

Nah ini…belum apa-apa, bapak sudah memberikan formulir dan menentukan biaya belajar sebesar dua ribu rupiah. Dalam sistem pendidikan, biaya itu harus dirinci sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya. Cukup tidak biaya sebesar itu, atau malah anggarannya kelebihan. Jadi maaf ya pak, saya belum bisa menyertakan anak saya untuk dididik di tempat bapak-bapak ini”.

“Ya tidak apa-apa, terima kasih sumbang sarannya. Hal tersebut pasti menjadi pelajaran berharga bagi kami. Meski sebagian besar apa yang bapak katakan itu tidak kami mengerti. Sekali lagi terima kasih, assalamu’alaikum”.

***

Waktu sudah menunjuk angka sembilan, udara semakin dingin, suara jangkrik seperti alunan nada piano, manusia semakin tenggelam ditelan kelelahan siang hari. Di teras mesjid, Ki Dullah dan Pa Anwar masih berkeringat kegerahan setelah berjalan mengelilingi komplek. Tidak ada satu orang tua pun yang mengizinkan anaknya memakai kacamata tua, mereka menolak dengan berbagai argumen, sebagian ada yang berargumen secara rasional, sebagian lagi memakai argumen yang dipaksakan,.

“Apa kataku ki, anak sekarang sudah asyik dengan kacamata yang diberi oleh bapaknya”

“Tidak apa-apa, yang penting kita sudah berusaha. Masih ada esok hari, masih ada waktu yang panjang, dan masih ada sembilan puluh kepala keluarga yang masih tersisa. Toh hari ini kita cukup banyak belajar. Belajar bersabar, belajar berbicara dengan baik, belajar bagaimana menawarkan sesuatu”.

“Ki, saya pikir besok kita jangan dulu menawarkan kacamata tua itu. Besok kita coba menyiasati kacamata tua itu agar tampil menarik”.

“Boleh saja, tapi aki takut tampilan menariknya membuat kacamata tua hilang arti dan maknanya, jangan-jangan tampilan menariknya justru menjadikannya bukan kacamata tua”

“Betul Ki, tapi dengan siasat yang jujur dan hati-hati, kacamata tua tidak akan patah. Ia tetap akan menjadi kacamata tua yang hidup sampai akhir zaman”.

“Aki juga mengharap begitu”.

“Mudah-mudahan saja, ki”.

***

Gubuk Kehidupan, 7 Mei 2008

Tentang pesantrenpersis19garut
Memahami, Mengamalkan, dan Mendakwahkan Islam

2 Responses to CERPEN REFLEKTIF TENTANG PESANTREN

  1. salam kenal…

    blognya keren , artikelnya juga keren keren dan mantao mantao,,

    thanks, di tugggu kunjjungan baliknya

Tinggalkan komentar