GEMPA TASIKMALAYA

GEMPA TASIKMALAYA DI BULAN SUCI

 

Allahu Akbar“, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un“, “Astaghfirullah“. Semua orang menjerit, memekik takbir, tahlil, dan istighfar. Seolah-olah tidak percaya bahwa siang yang begitu tenang itu diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7.3 Skala Richter. Hampir seluruh pulau Jawa merasakan getaran dahsyatnya. Diantara beberapa daerah yang merasakan guncangannya itu, Cianjur adalah yang sangat parah. Laporan terakhir Badan Sigap Bencana dan Kecelakaan pada pukul 23.56 WIB, korban meninggal telah berjumlah 42 orang dan masih menunggu evakuasi korban yang ditelan longsor sejumlah kira-kira 42 orang lagi.

 

Di Garut, diantara daerah yang terkena guncangan ini, Kec. Pameungpeuk dan Kec. Cikelet, yang paling parah. Beberapa korban meninggal, ratusan rumah hancur total, dan ratusan lainnya retak parah. Di Cikelet, menurut tim survey kami ada sekitar +600 rumah, dua sekolah, satu mesjid yang rusak parah. Di Pameungpeuk –khususnya di daerah Mandala Kasih, Kp. Baru, menurut Jama’ah yang berada di sana, penduduk mengungsi ke tengah sawah kering dan membuat perkemahan di sana. Di dekat Pesantren kami, tepatnya di Mandalagiri-Pasar Baru-Ciledug, kerusakan banyak terjadi. Beberapa toko tua retak berat. Bahkan kaca mesjid pesantren kami hancur, galian ledeng patah, beberapa keramik halaman mesjid retak parah. Dan entah berapa lagi kerusakan yang dihasilkan gempa ini yang tidak tercatat oleh kemampuan manusia.

 

Jika melihat kejadian ini kita disadarkan betapa fananya sesuatu yang kita anggap menenangkan itu, ketika sekumpulan manusia berkejaran keluar dan menjauh dari rumah, gedung, mall, dan lain sebagainya. Bukankah sebelum kita merasa aman dalam rumah kita, merasa aman di gedung pencakar, merasa enjoy di mall-mall dibanding pasar rakyat. Namun kenapa kemarin seolah kita menyuarakan ijmâ’(kesepakatan) di alam bawah sadar kita, “Lebih aman di luar gedung!”. Hampir seluruh orang berhamburan keluar dari gedung-gedung dan mencari lapang terbuka, sawah kering, lapang sepakbola, jalan-jalan, yang penting bukan dalam ruangan! Ekspresi ketakutan berdenyut terus setelah gempa susulan bergetar kembali selama beberapa detik, dan ijmâ itu pun masih tidak berubah, “Rumah kita tidak aman!”.

 

Orang mukmin hatinya harus tergerak dan bergerak. Bukan saja tergerak terhadap para korban gempa itu, namun juga tergerak hatinya untuk meyakini, “BERSAMA ALLAH, KITA SELAYAKNYA MERASA AMAN. Bukan bersama harta, bukan bersama jabatan, kepintaran, anak-anak, dan lain sebagainya”. Sebab sehari-hari kita selalu meyakini dengan ungkapan-ungkapan, “Ah…dengan gaji sebesar ini, saya yakin bisa menikah dan memiliki rumah yang layak”, “Jika saya memiliki jabatan itu, saya bisa merubah segalanya”, “Dengan kemampuan yang saya miliki, persoalan pelik ini bisa saya selesaikan”, “Saya merasa tenang, anak-anak saya semuanya telah mendapatkan pekerjaan”, “Seandainya rumah mewah itu saya miliki, alangkah tenangnya hidup ini!”, serta ungkapan-ungkapan kesombongan lainnya yang seringkali tidak kita sadari!